Setiap Tahun ada yang namanya Ujian Nasional, ujian untuk siswa SMP/MTS, SMA/MA dan SMK, yang selalu menimbulkan polemik di saat pelaksaannya. Perlu nggak ya Ujian Nasional?
Ujian nasional harus dievaluasi kembali baik secara konsep, pelaksanaan, dan penggunaan hasil-hasilnya untuk pemetaan pendidikan. Hal itu agar siswa tidak dirugikan.
Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin, Kamis (20/10), menyatakan bahwa DPR dalam menyikapi keberadaan ujian nasional (UN) cenderung lebih setuju jika fungsinya hanya pemetaan guna ditindaklanjuti untuk peningkatan mutu pendidikan, bukan sebagai penentu kelulusan. Sebab, sampai saat ini disparitas kualitas dan mutu pendidikan masih dirasakan sangat timpang. Jika di tengah disparitas tersebut mata pelajaran tertentu diujikan untuk penentu kelulusan oleh pemerintah pusat, maka siswa akan sangat dirugikan.
Kita sudah punya peraturan pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan, tetapi kenyataannya memang belum semua standar. Departemen Pendidikan Nasional sendiri yang lambat menyesuaikan dengan tuntutan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Tetapi, kok, semua harus menjalani ujian nasional? kata Anwar Arifin.
Dia juga mempertanyakan adanya aturan yang bertentangan dan merancukan fungsi dari ujian nasional dalam PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Pasal 68 butir (a) disebutkan, hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan. Namun, pada butir (c) disebutkan pula untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.
Referensi: Kompas 21 Okt 2005
Selasa, 22 Juli 2008
Rabu, 09 Juli 2008
TV DAN PENDIDIKAN
Masih ingat kasus tayangan smack down? Tayangan ini sempat diprotes oleh masyarakat dan akhirnya dihentikan penayangannya. Hal itu terjadi karena ada kasus penganiayaan yang dilakukan seorang anak kecil setelah sering menonton tayangan smac down tersebut.
Televisi memang pisau bermata dua. Banyak manfaatnya, tapi tidak sedikit juga mudhorotnya. Menurut Abdullah yazid (peneliti di FKIP Univ. Islam Malang), televisi memang diakui menjadi salah satu media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan pada masyarakat luas. Hampir setiap keluarga dari setiap kalangan masyarakat di wilayah Tanah Air memiliki televisi yang berfungsi sebagai sarana hiburan dan informasi. Barangkali, berawal dari salah satu asumsi tersebut, Depdiknas memanfaatkan media televisi dapat untuk kegiatan proses pendidikan yang bersifat massal.
Penulis juga mengakui media ini banyak memiliki keunggulan. Misalnya, pertama, siaran televisi dapat ditangkap oleh beberapa indera manusia sekaligus. Kedua, siaran televisi dapat menjangkau sasaran secara luas dan singkat. Ketiga, mata acara televisi dapat disampaikan dengan format hiburan, sehingga peluang tayangannya lebih menyenangkan, cukup tinggi. Keempat, banyak variasi bentuk acara televisi yang dapat dipilih, antara lain: uraian, reportase, dialog, wawancara, diskusi, laporan, atau hiburan.
Namun, sejauh ini belum teruji format dan bentuk yang paling ideal untuk menayangkan program pendidikan. Dulu, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) juga memiliki orientasi yang tidak jauh beda dengan Depdiknas sekarang, tapi hasilnya tidak efektif; apalagi memuaskan. Tayangan program pendidikan tidaklah cukup menarik ditonton dan masih kalah jauh rating-nya dengan tayangan-tayangan infotainmen, hiburan, atau sinetron.
Televisi memang pisau bermata dua. Banyak manfaatnya, tapi tidak sedikit juga mudhorotnya. Menurut Abdullah yazid (peneliti di FKIP Univ. Islam Malang), televisi memang diakui menjadi salah satu media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan pada masyarakat luas. Hampir setiap keluarga dari setiap kalangan masyarakat di wilayah Tanah Air memiliki televisi yang berfungsi sebagai sarana hiburan dan informasi. Barangkali, berawal dari salah satu asumsi tersebut, Depdiknas memanfaatkan media televisi dapat untuk kegiatan proses pendidikan yang bersifat massal.
Penulis juga mengakui media ini banyak memiliki keunggulan. Misalnya, pertama, siaran televisi dapat ditangkap oleh beberapa indera manusia sekaligus. Kedua, siaran televisi dapat menjangkau sasaran secara luas dan singkat. Ketiga, mata acara televisi dapat disampaikan dengan format hiburan, sehingga peluang tayangannya lebih menyenangkan, cukup tinggi. Keempat, banyak variasi bentuk acara televisi yang dapat dipilih, antara lain: uraian, reportase, dialog, wawancara, diskusi, laporan, atau hiburan.
Namun, sejauh ini belum teruji format dan bentuk yang paling ideal untuk menayangkan program pendidikan. Dulu, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) juga memiliki orientasi yang tidak jauh beda dengan Depdiknas sekarang, tapi hasilnya tidak efektif; apalagi memuaskan. Tayangan program pendidikan tidaklah cukup menarik ditonton dan masih kalah jauh rating-nya dengan tayangan-tayangan infotainmen, hiburan, atau sinetron.
Senin, 07 Juli 2008
Pendidikan dan Pengajaran
Apa beda pendidikan dan pengajaran? atau keduanya sama saja? tentu beda...
Pengajaran khusus ditujukan pada akal. Oleh karena itu mudah dan straight forward. Sedangkan pendidikan adalah pembinaan insan yang tidak saja melibatkan perkara fisik dan mental tetapi juga hati dan nafsu karena sesungguhnya yang dididik adalah hati dan nafsu. Oleh karena itu pendidikan lebih rumit dan susah. Kedua perkara ini harus kita fahami benar dalam membina insan. Keduanya diperlukan dalam pembinaan pribadi agar pandai berbakti pada Tuhan dan pada sesama manusia.
Pengajaran adalah proses belajar atau proses menuntut ilmu. Ada dosen, guru, ustadz yang mengajar atau menyampaikan ilmu kepada murid yang belajar. Hasilnya murid menjadi pandai, dan berilmu pengetahuan (‘alim). Pendidikan adalah proses mendidik yang melibatkan penerapan nilai-nilai. Di dalam pendidikan terdapat proses pemahaman, penghayatan, penjiwaan, dan pengamalan. Ilmu yang telah diperoleh terutama ilmu agama dicoba untuk difahami dan di hayati hingga tertanam dalam hati dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain pendidikan menyangkut tentang akhlak.
Pendidikan antara lain adalah memperkenalkan Tuhan kepada manusia. Membersihkan hati insan dari sifat-sifat keji (mazmumah) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah). Pendidikan juga adalah mengembalikan hati nurani manusia kepada keadaan fitrah yang suci dan bersih. Nafsu perlu dikendalikan supaya tidak cenderung kepada kejahatan dan maksiat tetapi cenderung kepada kebaikan dan ibadah.
Namun, kita tidak bisa mendidik saja tanpa memberi ilmu, dan begitu juga sebaliknya, kita tidak bisa memberi ilmu saja tanpa mendidik. Pengajaran tanpa pendidikan akan menghasilkan masyarakat yang pandai tetapi rusak akhlaknya atau jahat. Masyarakat akan maju di berbagai bidang dan kemewahan timbul dimana-mana tetapi akan timbul hasad dengki dimana-mana karena jiwa tiap insannya tidak hidup. Manusia menjadi individual, tidak berkasih sayang, dan kemanusiaan musnah. Manusia berubah identitas. Fisiknya saja manusia tetapi perangainya seperti setan dan hewan.
Sebaliknya mendidik saja tanpa memberi ilmu akan menghasilkan individu yang baik tetapi tidak berguna di tengah masyarakat. Mendidik tanpa ilmu menyebabkan insan mempunyai jiwa yang hidup tetapi tidak ada ilmu untuk dijadikan panduan.
Tetapi perlu dipahami bahwa tidak semua orang mampu mendidik. Ada orang yang berilmu banyak tetapi tidak mampu mendidik tetapi ada juga orang yang berilmu sedikit tetapi dapat mendidik. Karena peranan pengajaran ilmu hanya sedikit saja sedangkan selebihnya adalah peranan pendidikan.
Manusia menjadi jahat bukan karena tidak tahu ilmu. Jumlah orang bodoh yang jahat hampir sama dengan jumlah orang pandai yang jahat juga. Bahkan orang pandai yang jahat lebih jahat dari pada orang bodoh yang jahat, karena orang yang pandai menggunakan kelebihan akal atau ilmunya untuk kejahatan. Manusia menjadi jahat adalah karena proses pendidikannya tidak tepat sehingga jiwanya tidak hidup.
Dalam mencari ilmu, seseorang bisa belajar dari beberapa guru karena hanya ilmu yang kita pelajari. Tetapi, dalam mendidik atau mencari pendidik, tidak bisa ada lebih dari seorang pendidik. Pendidik yang sesungguhnya adalah pemimpin, model, sekaligus contoh untuk diikuti. Kalau ada banyak pendidik maka ibarat seperti masakan yang dimasak oleh beberapa koki. Dia akan jadi rusak. “ Too many cooks spoil the brook”.
Kemudian dilihat dari segi ilmunya, tidak semua ilmu mempunyai nilai pendidikan. Ilmu agama khususnya ilmu fardlu ‘ain seperti ilmu mengenal Tuhan memang untuk mendidik. Sedangkan kebanyakan ilmu akademik seperti matematika, perdagangan, sejarah, ilmu alam dan lain-lain tidak dapat untuk mendidik dan sekedar untuk mengajar saja. Meskipun begitu, jika proses pendidikan berjalan dengan benar sehingga jiwa Tauhid hadir pada diri seseorang maka ilmu-ilmu akademik akan menambah keyakinannya dan akan menjadikannya semakin melihat betapa berkuasa dan Maha Hebatnya Tuhan.. Sebaliknya, bagi pelajar-pelajar yang kosong jiwanya dari mengenal Tuhan, ilmu-ilmu tersebut hanya akan melalaikan mereka karena mereka tidak mampu mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan Tuhan.
Dalam suatu proses membangun dan membina manusia, pengajaran dan pendidikan adalah perkara wajib. Namun pendidikanlah yang lebih diutamakan karena jika pendidikan tidak diutamakan maka akan terbangun masyarakat yang rusak dan merusakkan. Manusia akan menjadi musuh kepada manusia yang lain dan kepada Tuhannya.Didiklah manusia lebih dahulu sebelum mengajar mereka hingga pandai. Jadikan mereka berakhlak sebelum menjadikan mereka berilmu. Kenalkan Tuhan lebih dahulu sebelum mengenalkan alam semesta beserta ciptaanNya yang lain. Jadikan mereka sebagai hamba-hamba ALLAH lebih dahulu sebelum menjadikan mereka sebagai khalifahNya. (sebagian bahan diambil dari http://kawansejati.itb.ac.id)
Pengajaran khusus ditujukan pada akal. Oleh karena itu mudah dan straight forward. Sedangkan pendidikan adalah pembinaan insan yang tidak saja melibatkan perkara fisik dan mental tetapi juga hati dan nafsu karena sesungguhnya yang dididik adalah hati dan nafsu. Oleh karena itu pendidikan lebih rumit dan susah. Kedua perkara ini harus kita fahami benar dalam membina insan. Keduanya diperlukan dalam pembinaan pribadi agar pandai berbakti pada Tuhan dan pada sesama manusia.
Pengajaran adalah proses belajar atau proses menuntut ilmu. Ada dosen, guru, ustadz yang mengajar atau menyampaikan ilmu kepada murid yang belajar. Hasilnya murid menjadi pandai, dan berilmu pengetahuan (‘alim). Pendidikan adalah proses mendidik yang melibatkan penerapan nilai-nilai. Di dalam pendidikan terdapat proses pemahaman, penghayatan, penjiwaan, dan pengamalan. Ilmu yang telah diperoleh terutama ilmu agama dicoba untuk difahami dan di hayati hingga tertanam dalam hati dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain pendidikan menyangkut tentang akhlak.
Pendidikan antara lain adalah memperkenalkan Tuhan kepada manusia. Membersihkan hati insan dari sifat-sifat keji (mazmumah) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah). Pendidikan juga adalah mengembalikan hati nurani manusia kepada keadaan fitrah yang suci dan bersih. Nafsu perlu dikendalikan supaya tidak cenderung kepada kejahatan dan maksiat tetapi cenderung kepada kebaikan dan ibadah.
Namun, kita tidak bisa mendidik saja tanpa memberi ilmu, dan begitu juga sebaliknya, kita tidak bisa memberi ilmu saja tanpa mendidik. Pengajaran tanpa pendidikan akan menghasilkan masyarakat yang pandai tetapi rusak akhlaknya atau jahat. Masyarakat akan maju di berbagai bidang dan kemewahan timbul dimana-mana tetapi akan timbul hasad dengki dimana-mana karena jiwa tiap insannya tidak hidup. Manusia menjadi individual, tidak berkasih sayang, dan kemanusiaan musnah. Manusia berubah identitas. Fisiknya saja manusia tetapi perangainya seperti setan dan hewan.
Sebaliknya mendidik saja tanpa memberi ilmu akan menghasilkan individu yang baik tetapi tidak berguna di tengah masyarakat. Mendidik tanpa ilmu menyebabkan insan mempunyai jiwa yang hidup tetapi tidak ada ilmu untuk dijadikan panduan.
Tetapi perlu dipahami bahwa tidak semua orang mampu mendidik. Ada orang yang berilmu banyak tetapi tidak mampu mendidik tetapi ada juga orang yang berilmu sedikit tetapi dapat mendidik. Karena peranan pengajaran ilmu hanya sedikit saja sedangkan selebihnya adalah peranan pendidikan.
Manusia menjadi jahat bukan karena tidak tahu ilmu. Jumlah orang bodoh yang jahat hampir sama dengan jumlah orang pandai yang jahat juga. Bahkan orang pandai yang jahat lebih jahat dari pada orang bodoh yang jahat, karena orang yang pandai menggunakan kelebihan akal atau ilmunya untuk kejahatan. Manusia menjadi jahat adalah karena proses pendidikannya tidak tepat sehingga jiwanya tidak hidup.
Dalam mencari ilmu, seseorang bisa belajar dari beberapa guru karena hanya ilmu yang kita pelajari. Tetapi, dalam mendidik atau mencari pendidik, tidak bisa ada lebih dari seorang pendidik. Pendidik yang sesungguhnya adalah pemimpin, model, sekaligus contoh untuk diikuti. Kalau ada banyak pendidik maka ibarat seperti masakan yang dimasak oleh beberapa koki. Dia akan jadi rusak. “ Too many cooks spoil the brook”.
Kemudian dilihat dari segi ilmunya, tidak semua ilmu mempunyai nilai pendidikan. Ilmu agama khususnya ilmu fardlu ‘ain seperti ilmu mengenal Tuhan memang untuk mendidik. Sedangkan kebanyakan ilmu akademik seperti matematika, perdagangan, sejarah, ilmu alam dan lain-lain tidak dapat untuk mendidik dan sekedar untuk mengajar saja. Meskipun begitu, jika proses pendidikan berjalan dengan benar sehingga jiwa Tauhid hadir pada diri seseorang maka ilmu-ilmu akademik akan menambah keyakinannya dan akan menjadikannya semakin melihat betapa berkuasa dan Maha Hebatnya Tuhan.. Sebaliknya, bagi pelajar-pelajar yang kosong jiwanya dari mengenal Tuhan, ilmu-ilmu tersebut hanya akan melalaikan mereka karena mereka tidak mampu mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan Tuhan.
Dalam suatu proses membangun dan membina manusia, pengajaran dan pendidikan adalah perkara wajib. Namun pendidikanlah yang lebih diutamakan karena jika pendidikan tidak diutamakan maka akan terbangun masyarakat yang rusak dan merusakkan. Manusia akan menjadi musuh kepada manusia yang lain dan kepada Tuhannya.Didiklah manusia lebih dahulu sebelum mengajar mereka hingga pandai. Jadikan mereka berakhlak sebelum menjadikan mereka berilmu. Kenalkan Tuhan lebih dahulu sebelum mengenalkan alam semesta beserta ciptaanNya yang lain. Jadikan mereka sebagai hamba-hamba ALLAH lebih dahulu sebelum menjadikan mereka sebagai khalifahNya. (sebagian bahan diambil dari http://kawansejati.itb.ac.id)
Jumat, 04 Juli 2008
Pendidikan dan Pekerjaan
Apa motivasi seorang ayah/ibu menyekolahkan anaknya? tampaknya pertanyaan ini perlu direnungkan. Karena ada kecenderungan bergesernya idealita pendidikan dengan kenyataan di lapangan.
Kalau pertanyaan itu diajukan kepada para orang tua, saya yakin jawabannya sebagian besar adalah: agar anaknya dapat memperoleh pekerjaan. Jadi ada kecenderungan bahwa seorang berpendidikan itu akan mudah memperoleh pekerjaan. Bukan untuk memberdayakan potensi-potensi yang ada pada seorang anak hingga ia siap menghadapi tantangan zaman.
Pola fikir diatas menurut Paulo Freire disebut "Pendidikan Gaya Bank".
Menurut Marthen Manggen (2005) Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.
Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia. Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam "membedah" permasalahan pendidikan di Indonesia.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam "wadah" itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti12. Nara didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan "gaya bank". Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya naradidik itu sendiri yang "disimpan" sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Refeernesi: Marthen Manggen (2005) dalam jurnal TP edisi 8-2005
Kalau pertanyaan itu diajukan kepada para orang tua, saya yakin jawabannya sebagian besar adalah: agar anaknya dapat memperoleh pekerjaan. Jadi ada kecenderungan bahwa seorang berpendidikan itu akan mudah memperoleh pekerjaan. Bukan untuk memberdayakan potensi-potensi yang ada pada seorang anak hingga ia siap menghadapi tantangan zaman.
Pola fikir diatas menurut Paulo Freire disebut "Pendidikan Gaya Bank".
Menurut Marthen Manggen (2005) Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.
Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia. Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam "membedah" permasalahan pendidikan di Indonesia.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam "wadah" itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti12. Nara didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan "gaya bank". Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya naradidik itu sendiri yang "disimpan" sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Refeernesi: Marthen Manggen (2005) dalam jurnal TP edisi 8-2005
Kamis, 03 Juli 2008
Pendidikan Gratis. Mungkinkah?
Wacana pendidikan gratis sering mengemuka di masa-masa kampanye pilkada. Setiap kandidat biasanya menjadikan jargon pendidikan dan kesehatan gratis sebagai tema kampanye nya. Sebenarnya mungkinkah pendidikan itu bisa gratis?
Menurut Edy Priyono dalam artikelnya di Suara Pembaruan 12 feb 08, Yang dimaksud dengan “pendidikan gratis” di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah. Dalam pengertian seperti itu, konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid.
“Tidak adil jika pendidikan gratis. Pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat” (Kaltim Post, 12 Januari 2005)
Jika pendidikan gratis itu tidak adil maka itu berarti kita mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara lain yang menggratiskan pendidikannya adalah TIDAK ADIL dan justru kita yang ADIL selama ini. Berarti konsep pendidikan gratis yang dianut oleh negara-negara lain selama ini adalah prinsip yang bertentangan dengan prinsip keadilan yang kita anut. Negara-negara tersebut telah melakukan KETIDAKADILAN terhadap warganegaranya. Kitalah justru pelopor keadilan karena kita tidak menggratiskan pendidikan dasar bagi warga kita. Sayang sekali bahwa pendapat itu tidak benar.Dimanapun didunia ini pendidikan adalah tanggungjawab pemerintah dan masyarakat, termasuk biaya pendidikannya ditanggung bersama. Diluar biaya yang ditanggung pemerintah dengan menggratiskannya orang tua masih harus menanggung biaya pendidikan seperti : buku dan alat tulis sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus, dan iuran sekolah macam-macam. Jadi meski gratispun masyarakat (dalam hal ini orang tua) masih tetap harus mengemban tanggung jawabnya dalam pendidikan anaknya. Jadi ini tidak berarti kalau sekolah gratis lantas masyarakat lepas tanggung jawab terhadap pendidikan anaknya.
Menurut Edy Priyono dalam artikelnya di Suara Pembaruan 12 feb 08, Yang dimaksud dengan “pendidikan gratis” di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah. Dalam pengertian seperti itu, konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid.
“Tidak adil jika pendidikan gratis. Pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat” (Kaltim Post, 12 Januari 2005)
Jika pendidikan gratis itu tidak adil maka itu berarti kita mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara lain yang menggratiskan pendidikannya adalah TIDAK ADIL dan justru kita yang ADIL selama ini. Berarti konsep pendidikan gratis yang dianut oleh negara-negara lain selama ini adalah prinsip yang bertentangan dengan prinsip keadilan yang kita anut. Negara-negara tersebut telah melakukan KETIDAKADILAN terhadap warganegaranya. Kitalah justru pelopor keadilan karena kita tidak menggratiskan pendidikan dasar bagi warga kita. Sayang sekali bahwa pendapat itu tidak benar.Dimanapun didunia ini pendidikan adalah tanggungjawab pemerintah dan masyarakat, termasuk biaya pendidikannya ditanggung bersama. Diluar biaya yang ditanggung pemerintah dengan menggratiskannya orang tua masih harus menanggung biaya pendidikan seperti : buku dan alat tulis sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus, dan iuran sekolah macam-macam. Jadi meski gratispun masyarakat (dalam hal ini orang tua) masih tetap harus mengemban tanggung jawabnya dalam pendidikan anaknya. Jadi ini tidak berarti kalau sekolah gratis lantas masyarakat lepas tanggung jawab terhadap pendidikan anaknya.
Selasa, 01 Juli 2008
Ada Apa dengan Pendidikan Kita?
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi. (Wikipedia.org)
Definisi PENDIDIKAN diatas kalau dicermati terlihat begitu sempurna, tapi kalau melihat produk pendidikan di negri kita, kita bertanya: Ada apa dengan pendidikan kita?
Fenomena banyaknya sarjana yang menganggur, mismatch antara kompetensi dengan bidang kerja, tim sukses UN yang membantu menjawab soal UN pada siswa.... menunjukkan ada yang salah dengan pendidikan kita...
Kualitas SDM di negeri kita masih kalah jauh dibanding negeri-negeri tetangga. Padahal konon dulu malaysia sempat mengimpor guru-guru dari Indonesia. Tapi sekarang kualitas SDM Malaysia sudah jauh meninggalkan kita.
Perguruan tinggi sekelas UI grade-nya masih jauh dibawah perguruan tinggi di Singapura dan negara tetangga lainnya. Padahal UI adalah ikon Perguruan Tinggi di Indonesia.
Ada Apa dengan Pendidikan Kita...? Tanya kenapa....
Definisi PENDIDIKAN diatas kalau dicermati terlihat begitu sempurna, tapi kalau melihat produk pendidikan di negri kita, kita bertanya: Ada apa dengan pendidikan kita?
Fenomena banyaknya sarjana yang menganggur, mismatch antara kompetensi dengan bidang kerja, tim sukses UN yang membantu menjawab soal UN pada siswa.... menunjukkan ada yang salah dengan pendidikan kita...
Kualitas SDM di negeri kita masih kalah jauh dibanding negeri-negeri tetangga. Padahal konon dulu malaysia sempat mengimpor guru-guru dari Indonesia. Tapi sekarang kualitas SDM Malaysia sudah jauh meninggalkan kita.
Perguruan tinggi sekelas UI grade-nya masih jauh dibawah perguruan tinggi di Singapura dan negara tetangga lainnya. Padahal UI adalah ikon Perguruan Tinggi di Indonesia.
Ada Apa dengan Pendidikan Kita...? Tanya kenapa....
Langganan:
Postingan (Atom)