Apa motivasi seorang ayah/ibu menyekolahkan anaknya? tampaknya pertanyaan ini perlu direnungkan. Karena ada kecenderungan bergesernya idealita pendidikan dengan kenyataan di lapangan.
Kalau pertanyaan itu diajukan kepada para orang tua, saya yakin jawabannya sebagian besar adalah: agar anaknya dapat memperoleh pekerjaan. Jadi ada kecenderungan bahwa seorang berpendidikan itu akan mudah memperoleh pekerjaan. Bukan untuk memberdayakan potensi-potensi yang ada pada seorang anak hingga ia siap menghadapi tantangan zaman.
Pola fikir diatas menurut Paulo Freire disebut "Pendidikan Gaya Bank".
Menurut Marthen Manggen (2005) Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.
Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia. Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam "membedah" permasalahan pendidikan di Indonesia.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam "wadah" itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti12. Nara didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan "gaya bank". Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya naradidik itu sendiri yang "disimpan" sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Refeernesi: Marthen Manggen (2005) dalam jurnal TP edisi 8-2005
1 komentar:
Beberapa hari yang lalu, kebetulan saya mendengarkan pembahasan arti dari kata "Sekolah" di sebuah stasiun radio swasta Jakarta.
Pembahasan tersebut berkisar seputar tentang arti dari kata sekolah itu sendiri, yang kemudian mengalami beberapa reduksi makna.
Sayangnya saat mendengarkan radio saya juga sedang melakukan aktivitas lainnya. Sehingga beberapa hal yang saya pikir penting, tidak dapat saya ingat.
Sekolah, dalam pembahasan itu, berasal dari kata Perancis, yang berarti taman. Semula aktivitas belajar yang dipimpin oleh seorang guru, dilakukan di sebuah taman. Sebab belajar pada hakikatnya adalah aktifitas eksplorasi keilmuan yang senantiasa tidak pernah terlepas dari alam. Di taman tersebut setiap siswa bebas mengeksplorasi keilmuan tanpa dibatasi kepentingan apapun.
Saat itu, terjadi revolusi industri. Pabrik-pabrik menjamur dimana-mana, sehingga banyak memakan lahan. Inilah yang kemudian "menggusur" sekolah yang pada awalnya dilakukan di taman.
Singkat pembahasan, maka mulai timbullah ide untuk tidak lagi menggunakan taman sebagai ruang belajar. Dibangunlah gedung-gedung untuk dilaksanakannya proses belajar. Tidak hanya tempat yang mengalami pergesaran, akan tetapi kurikulum juga.
Semangat revolusi industri telah membawa perubahan besar-besaran. Untuk itu dibutuhkan banyak tenaga ahli terpelajar. Nah, sekolah yang awalnya tidak memiliki kepentingan apapun dalam perkembangan ekonomi waktu itu, perlahan disetel agar dapat mendukung upaya revolusi industri dengan memasukkan kurikulum yang berbasis link-match. Inilah yang kemudian mempersempit upaya eksplorasi keilmuan yang bersifat independen dan universal.
Sekarang, sekolah --apapun tingkatan dan namanya-- adalah bagian dari industri itu sendiri. Sekolah diseting sedemikian rupa hingga menjadi gurita raksasa industri yang menitikberatkan pada penguasan lapangan kerja, bukan penguasaan keilmuan.
Oleh sebab itu tidak salah, jika ada orang tua ditanya untuk apa menyekolahkan anaknya agar mendapat pekerjaan yang ideal dan layak. Sebab, yang ada di otak manusia zaman sekarang, adalah bukan pendidikan itu sendiri melainkan penguasaan akan industri.
Posting Komentar